Oleh : Yatsrib Akbar Sowakil
Catatannasional.Com - Akhir-akhir ini wajah kapitalisme semakin memperlihatkankarakternya yang semakin serakah. Hampir semua ruang kehidupan manusia dikendalikan oleh norma-norma ekonomidan sosial.
Termasuk ruang religiusitas manusia. Ibadah Puasa yang sebentar lagi menghampiri umat islam jagat ini, juga tidak terhindarkan dari kapitalisasi yang ekstrim yang dipelopori oleh industri media. Semua menawarkan pesona dan keindahan puasa dengan dibarengi pola konsumerisme tinggi.Setiap memasuki bulan ramadan, semua stasiun TV seakan berebut menemani pemirsanya menunggu dan bersantap sahur. Berbagai program acara pun disuguhkan' Berbagai program mulai dari- talkshow, Sinetron, reality show, hingga komedian ditayang dan Semua dikemas sedemikian rupa sehingga membantu menghilangkan kantuk dan bosan saat menunggu dan menyantap sahur. Bintang-bintang yang terlibatpun tidak tanggung-tanggung. Artis-artis papan atas "berjubel" dalam program tersebut seolah oleh menampilkan keseriusan ritme puasa
Tanpa kita sadari Dalam waktu yang bersamaan, watak kapitalisme memperlihatkan watak aslinya yang konsumtif, orang-orang-pun dengan lantang berkata (saya membeli maka saya ada) sebuah parodi dari ucapan Rene Descartes beberapaabad silam Cogito Ergo Sum (aku berpikir maka aku ada).Sebuah pilihan ekstrim. Eksistensi manusia hanya dinilai dari seberapa rakus seseorang mengkonsumsi. Maka, kultur konsumsi menjadi kultur dominan di tengah-tengah etos produksi kita yang rendah.
Bulan Ramadhan yang penuh berkah dan kasih ini bagi umat islam, di hadapkan dengan fenomena kapitalisme dan yang luar biasa dan mencoba Mengeksploitasi momen ini untuk kepentingan bisnis dan keuntungan beberapa golongan, puasa harus menjadi diskursi kritik polimik dinamika berbangsa saat ini dengan kekangan kapitlisme luar biasa, seperti beberapa hari kemarin kita di hadapkan dengan kasus negara,pengoplosan minyak pertalite ke pertamax merugikan rakyat yang luar biasa, saya memakai diksi merugikan rakyat bukan memakai diksi yang biasa di pakai media yaitu diksi merugikan negara, sebab hak rakyat telah di ekploitasi.
Sosial Dalam Puasa
Puasa sangat erat dengan hubungannya dengan kepedulian sosial, Nabi Muhammad SAW adalah Puasa yang ditunaikan pada bulan Ramadhan, mempunyai pesan transformatif. Ramadhan merupakan momentum mengasah kepekaan sosial. Ramadhan tidak hanya berkutat pada wilayah ubudiyah (transenden) semata, melainkan banyak ibadah yang menampilkan tentang nuansa kepedulian terhadap umat yang mengalami penindasan, baik dari sisi hak hidup, ekonomi maupun penindasan keadilan. Ramadhan adalah syahrul Jud (bulan pemberi) dan syahrul Muwassah (bulan memberi pertolongan).
Seorang ulama, Ibn Qayyim al-Jauzi menjelaskan bahwa yang dimaksud puasa tak lain adalah menahan syahwat dan nafsu dari sesuatu yang disenanginya dengan demikian, menahan lapar dalam puasa merupakan percobaan untuk berani mengingat dan menanggung derita saudaranya yang miskin dan teraniaya, mendisiplinkan tubuh dari jejaring kapitalisme yang menjalar dalam kesadaran kita agar tidak terus mengkonsumsi banyak hal yang bisa merusak kehidupan dunia dan akhirat. Puasa merupakan jalan para muttaqin (orang-orang bertaqwa) untuk diri kepada Allah. Melalui puasa tubuh dan jiwa dijaga dari hal yang dapat mendegradasi kualitas jiwa. Puasa juga mampu menjadi penawar dari keserakahan yang tak tertanggungkan.
Kemudian peradaban kapitalisme memang lihai, selalu mempunyai cara untuk menggiring massa mengikutinya. Hampir semua peristiwa sosial dan keagamaan, kapitalisme mampu menyusup dan bahkan menjadi bagian penting di dalamnya. Entah itu, puasa, lebaran, ibadah haji dan kegiatan keagamaan lainnya.
Gejala ini juga telah berlangsung di Indonesia secara lebih intens, setidaknya dalam dasawarsa terakhir. Dan, komodifikasi Islam itu bisa dipastikan selalu mencapai puncaknya sepanjang Ramadhan. Hal ini bisa dilihat di mana-mana; dalam tayangan TV, di mal dan supermarket, dan seterusnya. Antara lain, karena peningkatan komodifikasi Islam ini, tingkat konsumsi masyarakat meningkat tajam menjelang dan selama Ramadhan dan Idul Fitri.
Bila kita cermati dengan baik komersialisasi Islam atau mengubah keimanan dan simbol-simbolnya menjadi komoditas yang dapat diperjual belikan untuk mendapat keuntungan. Komersialisasi Islam menjadikan Islam sebagai sebuah komoditas, apalagi komersialisasi Islam boleh jadi membuat banyak kalangan umat Islam mengerutkan dahinya.Apalagi, secara tradisional, banyak ulama menyatakan, agama tidak boleh dijadikan barang dagang untuk mendapat keuntungan dari penjualan dan perdagangan simbol-simbol agama. Bahkan, para ulama, ustadz, dan mubaligh diharapkan tidak mendapatkan nafkah apalagi profit material dari kegiatannya berdakwah tetapi realita yang terjadi pesan pesan dakwah yang harus menjadi spirit perjuangan malah menjadi keuntungan semata.
Namun, apa boleh buat Zaman sudah berubah dan komersialisasi Islam itu tidak bisa lagi dihindarkan Mereka yang bergerak dalam bidang dakwah boleh jadi menolak istilah ini , dan sebaliknya mungkin lebih nyaman dengan istilah profesionalisasi profesional dalam dakwah, dan karena itu boleh saja berusaha mendapat keuntungan dari profesi dakwah mereka.
Ironi Puasa
Sebuah pemandangan yang kontradiktif pesan puasa yang seharusnya sebagi media dan bentuk pengendalian dari segala keinginan konsumtif, malah yang muncul sebaliknya, penuh keserakahan ini, semua orang beriman, khususnya orang Islam, ditantang untuk mampu menjawab problem ketimpangan global yang kian membengkak. Fatalnya, banyak orang lupa jika mereka merupakan bagian dari dunia yang dipenuhi dengan ketimpangan, ketidakadilan, keserakahan dan ancaman kerusakan lingkungan oleh pembangunan yang tak mengindahkan kelestarian.
Thomas Robert Malthus, yang pemikirannya disebut Malthusian, pada abad ke-18 pernah mengungkapkan bahwa seiring dengan bertambahnya penduduk, maka sejatinya kebutuhan akan produksi dan konsumsi akan terus meningkat, dan dengan demikian maka lingkungan juga sebenarnya terus dalam ancaman. Apalagi pertumbuhan penduduk dunia terus meningkat, maka sulit dipungkiri juga bahwa kebutuhan atas produksi dan konsumsi akan terus meningkat. Pada akhirnya, ekstraksi sumberdaya alam semakin banyak, dan limbah yang dihasilkan juga semakin banyak. Asumsi ini bukannya tak berdasar. Akar kekacauan pada keseimbangan lingkungan adalah pola konsumsi yang melampaui batas dan menguras sumber daya alam.
The Great Disruption karya Francis Fukuyama (2016) telah mewanti-wanti kita, bahwa akar kerusakan di bumi bersumber dari empat hal: kemiskinan yang meningkat, kekayaan yang meningkat, kemerosotan nilai-nilai kultural dan religius, meningkatnya egoisme atau kepuasaan individualistis di atas kewajiban komunal.
Dari uraian sederhana itu kita menjadi tahu. Kita perlu “sistem pengendalian” atas egoisme manusia, keserakahan manusia, dan sifat konsumtif manusia. Puasa, yang merupakan “menahan diri dari makan dan minum serta yang membatalkan puasa mulai dari fajar hingga terbenamnya matahari” adalah salah salah satu sistem religi yang dapat berperan sebagai pengendali egoisme manusia, utamanya pola produksi dan konsumsi atas sumberdaya sehingga kondisi inilah menjadilan manusia larut dalam gebyar dan hiruk ramadhan. Puasa tidak lebih dari sekedar ritual kolosal tahunan dengan segala syarat dan rukunya yang tidak berimplikasi apa-apa. Memang, syiar keagamaan nampak meriah dengan berbagai sajian dan ragam acara media. Namun juga tidak banyak imbas terhadap peningkatan spiritual. Dan bahkan membuatnya menjadi dangkal karena bergerak sesuai dengan kemauan pasar.
Pesan Utama Puasa
Jauh lebih penting dari segala pernak pernik ramadhan tersebut adalah, bagaimana menemukan kembali semangat dan pesan utamanya puasa yang semakin hari semakin kabur.kaharusan menahan makan, minum, dari fajar hingga terbenam matahari adalah pesan untuk lebih mengendalikan syahwat pesan kerja keras untuk menaklukan keegoisan manusia.
Dengan demikian, makna puasa tidak hanya menyangkut urusan ritual, spiritual, saja tetapi juga menyangkut dimensi lain, yakni dimensi Krisis sosial, dan ekologis. Manifestasinya adalah dengan berpuasa kita harus sadar kembali betapa pentingnya menahan diri dari hasrat kegilaan manusia, gaya hidup konsumtif yang berlebihan, dan boros. Puasa menata secara teratur aliran hasrat, dimulai dari dalam (hati), dan kemudian melahirkan pribadi muslim yang bertaqwa, tidak hanya taqwa secara ritual, tetapi juga taqwa secara sosial.
Karena memang tidak mudah, setelah sebelas bulan sebelumnya, hampir tidak mengendalikan syahwat jasmaniahdengan berlapar-lapar dan dahaga, setidaknya puasa ingin memberi pesan bahwa menjadi orang kecil dan miskin secara struktur sosial, adalah berat dan tidaklah mudah. Maka mereka mutlak diperhatikan kesejahtraannya. Karena membiarkan golongan mereka sama seperti kita mendustakan Islam itu sendiri. Struktur sosial yang cenderung eksploitatif, di mana kelompok yang kuat cenderung menindas yang kecil, membutuhkan advokasi atau pembelaan yang terus menerus.
Dari sinilah peran agama itu dibutuhkan dengan mampu menangkap pesan puasa tersebut, setidaknya bulan puasa tidak hanya sekedar memberi Suasana gaduh , namun mampu memberi pesan atau suara kemanusian wajib terus kita pelihara. SELAMAT BERPUASA.
0 Komentar