Jemaah Bayar Rp 1,1 M untuk Jalur Kuota Khusus, Pansus Haji DPR Murka

 


Jakarta - Pansus Angket, Saleh P. Daulay, dalam pernyataannya menyebutkan bahwa salah satu jemaah haji membayar sebesar USD 71.700, Harga tersebut bila disetarakan dengan kurs Rp 16 ribu per dolar, menurut Saleh, angkanya bisa mencapai sekitar Rp 1,1 miliar.

Fakta tersebut dinilai tidak memenuhi rasa keadilan jemaah haji dan Pansus ingin memastikan apa peran Kementerian Agama dalam hal ini.

Pernyataan ini disampaikan dalam rapat Pansus pada Selasa (10/9), dan Saleh menegaskan bahwa pembayaran tersebut dilakukan dengan bukti pelunasan yang seharusnya dipergunakan sesuai dengan ketentuan yang berlaku.


Temuan ini semakin menegaskan adanya dugaan praktik yang tidak transparan terkait biaya dan proses keberangkatan haji melalui jalur kuota khusus.


Dalam pernyataannya, ia mempertanyakan kewajaran biaya tersebut, dengan mengatakan, “Ini orang mau masuk surga, Ini apa lho. Apa-apaan haji sampai Rp 1,1 miliar begini.”paparnya.


Ia juga membandingkan bahwa biaya haji furoda, yang dikelola langsung oleh Arab Saudi tanpa melalui kuota pemerintah Indonesia, bahkan tidak sebesar itu.


Menanggapi pernyataan Saleh P. Daulay, Direktur Bina Umrah dan Haji Khusus, Jaja Jaelani, menjelaskan bahwa Kementerian Agama menetapkan biaya haji khusus dengan ketentuan setoran awal sebesar USD 4.000, diikuti dengan pelunasan sebesar USD 4.000, sehingga total biaya haji khusus yang ditetapkan oleh Kemenag adalah USD 8.000.


Soal besaran yang harus dibayar calon jemaah haji khusus, kata Jaja, itu ada kesepakatan antara penyelenggaraan ibadah haji khusus (PIHK) dan jemaah. “Nah, batas biaya kesepakatan antara jemaah dan PIHK,” kata Jaja.


Pansus Haji merasa ada kejanggalan dalam penjelasan Jaja Jaelani, meskipun Kementerian Agama telah menetapkan biaya haji khusus sebesar USD 8.000. Pansus mempertanyakan hal ini karena seharusnya proses keberangkatan jemaah haji, baik reguler maupun khusus, sudah diatur melalui Sistem Informasi dan Komputerisasi Haji Terpadu (Siskohat), yang menetapkan nomor antrean.


Pansus melihat adanya ketidaksesuaian antara biaya yang ditetapkan dengan fakta di lapangan, di mana jemaah haji bisa membayar jauh lebih mahal melalui travel untuk mendapatkan kuota khusus, padahal seharusnya antrean diatur dengan sistem tersebut.


Hal ini memunculkan dugaan bahwa ada celah dalam pengelolaan kuota haji yang memungkinkan adanya praktik jual-beli atau penyalahgunaan kuota.

Posting Komentar

0 Komentar