Legenda Eyang Suryakencana, Penunggang Kuda Kosong di Cianjur



Cianjur - Setiap tahun, di Kabupaten Cianjur ada perayaan HUT Kemerdekaan RI sekaligus Peringatan Hari Jadi Cianjur dalam bentuk helaran budaya. Ribuan orang memadati jalanan arteri di sekitar Pendopo Bupati Cianjur. Berbagai karya seni ditampilkan. Termasuk kesenian yang legendaris, Kuda Kosong. Yaitu, seekor kuda dengan hiasan serba hijau diarak dalam barisan karnaval.

Kuda Kosong dipercaya tidak kosong-kosong amat, melainkan ditunggangi sosok gaib bernama Eyang Surya Kancana atau ditulis juga Eyang Suryakencana.

Siapakah Eyang Suryakencana? Pertanyaan itu membutuhkan jawaban yang panjang mengenai silsilah tokoh gaib tersebut. Sejatinya, Suryakancana tidak begitu gaib, sebab dia merupakan keturunan dari bapak manusia dan ibu jin. Yakni, setengah manusia setengah jin.

Nama Suryakencana disebut-sebut dalam sejumlah literatur, sehingga nama ini hingga kini dikeramatkan, dan dijadikan sejumlah nama tempat di Cianjur, seperti Alun-alun Suryakencana di Gunung Gede-Pangrango dan Universitas Suryakancana.

Legenda Eyang Suryakencana
Kocap tercerita, Eyang Surya Kancana, ditulis juga Suryakencana bernama lengkap Raden Surya Kencana Winata Mangkubumi. Hidup pada sekitar abad ke-16 M, dan merupakan keturunan campuran manusia dan jin, putra Arya Wiratanudatar yang bergelar, Bupati Cianjur dari pernikahan dengan Indang Sekesih (ditulis juga Sukesih), perempuan bangsa jin.

Dari pernikahan dengan Indang Sekesih, Arya Wiratanu dikaruniai Indang Kancana dan Surya Kancana. Karena kedua anak itu bengal, maka Indang Kancana diasingkan ke Gunung Kumbang dan Surya Kancana diasingkan ke Gunung Gede.

Cerita mengenai Eyang Suryakencana ini dapat dibaca dalam Naskah Asmarandana yang berkisah tentang sejarah Cikundul, ibu kota pertama Kabupaten Cianjur.

Sastra klasik itu terdiri atas 164 bait dengan 36 halaman. Di dalam naskah ini, juga dikisahkan bahwa Eyang Surya Kencana berada dalam garis keturunan keluarga Prabu Siliwangi, (salah satu) raja Sunda-Pajajaran.

Namun, sebagaimana ayahnya yang sudah menerima Islam, Eyang Suryakancana pun merupakan tokoh penyebar Islam di Cianjur. Di Bogor, ada Gunung Bunder, letaknya 84 kilometer dari Gunung Gede. Dikutip dari Jurnal Kepariwisataan Indonesia, 2022, disebutkan di Gunung Bunder itulah tempat peristirahatan terakhir Eyang Suryakencana.

Silsilah Nasab Eyang Suryakencana
Legenda Eyang Suryakencana telah mendarah daging dalam kepercayaan masyarakat Cianjur. Budayawan Cianjur, Luki Muharam dalam Helaran Budaya pada Minggu (18/8/2024) mengatakan bahwa masyarakat yang percaya Kuda Kosong ditunggangi Eyang Suryakencana masih banyak.

Bagaimana silsilah nasab Eyang Suryakencana? Sejauh yang bisa ditelusuri, berikut di bawah ini silsilah keturunan Eyang Suryakencana, dikutip dari studi Ruswendi Permana, berjudul Kajian Struktur Cerita Rakyat di Kabupaten Cianjur, 2015.

1. Prabu Siliwangi, merupakan titik tolak pengisahan, sebagai leluhur dari tokoh-tokoh dalam cerita tentang Eyang Suryakencana ini. Prabu Siliwangi punya anak namanya Mundingsari;

2. Mundingsari punya anak bernama Mundingsari Leutik yang tinggal di Banten Girang;

3. Mundingsari Leutik punya anak, namanya Pucuk Umun;

4. Pucuk Umun punya anak namanya Sunan Parunggangsa;

5. Sunan Parunggangsa punya anak namanya Sunan Wanafsi, yang kemudian menjadi raja Talaga, kerajaan di Majalengka;

6. Sunan Wanafsi punya anak, namanya Sunan Ciburang yang terkenal sakti dan kebal senjata tajam;

7. Sunan Ciburang punya anak, namanya Raden Arya, seorang muslim dan petapa yang tabah;

8. Raden Arya punya anak, namanya Arya Wiratanudatar yang menikah dengan putri jin, Indang Sekesih.

9. Arya Wiratanudatar dan Indang Sekesih punya anak, Indang Kancana dan Surya Kancana.

Mengapa Eyang Suryakencana Terkenal?
Nama Suryakencana menjadi nama yang banyak dikenal oleh masyarakat di Cianjur, terlebih karena nama-nama itu dijadikan nama tempat, seperti Alun-Alun Suryakencana di area puncak Gunung Gede-Pangrango dan juga jadi nama universitas terkenal di Cianjur, Universitas Suryakancana.

Selain karena keturunan bupati, di kemudian hari, masyarakat mengenal nama Eyang Suryakencana sebagai sosok penyebar Islam di Cianjur. Jasanya bagi masyarakat dinilai sangat luhur.

"Eyang Surya Kencana juga mengikuti ajaran Islam dan menyebarkannya di sekitar Gunung Gede. Pada sisi lain, karena keturunan Dalem Arya berasal dari setengah manusia dan setengah jin, beliau pun memiliki pengikut dari kalangan manusia dan jin, menjadikan alun-alun sebagai lumbung padi yang disebut "Leuit Salawe Jajar" dan dianggap mistis karena keberadaannya tidak dapat dilihat secara kasat mata.

Eyang Surya Kencana memiliki dua orang istri. Beliau memiliki satu anak dari istri pertama, yakni Nyimas Ratna Gumilang yang bernama Raden Aji Mantri, dan enam anak dari istri kedua, yakni Nyimas Oo Imahu (Harom Muthida) yang bernama Nyimas Harim Hotimah, Nyimas Sari Atuhu, Sastra Pura Kusumah, Sastra Umbar, Nyimas Roro, dan Suniasih. Eyang Surya Kencana dipercaya pandai ilmu mistis karena para jin dapat takluk di tangannya dan pandai dalam memimpin, terbukti dari cara beliau menyebarkan agama Islam di daerah sekitar Gunung Gede hingga Cianjur. Petilasan atau tempat singgah Eyang Surya Kencana berupa batuan besar yang berada di dekat puncak Gunung Gede," tulis Januarani Razak, dkk. dalam Jurnal Kepariwisataan Indonesia, 2022.

Sejarah Kuda Kosong
Budayawan sekaligus sejarawan Cianjur, Luki Muharam, menjelaskan kebudayaan atau kesenian kuda kosong diambil dari peristiwa diplomasi Cianjur dengan Mataram.

Menurut dia, kala itu Cianjur yang merupakan pemerintahan yang baru berdiri diminta tunduk kepada Mataram. Namun bupati Cianjur saat itu yakni Raden Wiratanu II mengirim utusan untuk menyampaikan pesan berupa tiga buah peti berisikan cabai, lada, dan beras.

"Diplomasi itu dilakukan secara simbolik Dimana beras mengartikan Cianjur merupakan daerah yang subur, lada menyimbolkan Cianjur merupakan daerah baru terbentuk, dan lada mengartikan meskipun masih baru Cianjur siap untuk memberikan perlawanan. Tapi karena kehebatan pemimpin pada masa itu, Mataram mengerti pesan yang disampaikan pemimpin Cianjur," kata Luki, Rabu (7/2/2024).

Takjub dengan cara diplomasi yang dilakukan Cianjur, Mataram pun akhirnya malah menjadikan Cianjur bukan sebagai negeri taklukan tapi sahabat. Bahkan Cianjur diberi hadiah, yang salah satunya kuda balap dengan perawakan tinggi besar.

Selama sebulan perjalanan dari Mataram ke Cianjur, kuda yang gagah itu tidak ditunggangi, sebab kuda itu dihadiahkan untuk sang Bupati Cianjur kedua.

Setibanya para utusan ke Cianjur, mereka disambut oleh dalem beserta jajarannya. Berbagai benda amanat dari Raja Mataram sudah diberikan pada dalem, kemudian kuda gagah hadiah Raja Mataram dibawa ke pendopo Cianjur.

Setelah peristiwa tersebut, tersiarlah pada seluruh rakyat Cianjur. Bahwa, Cianjur telah terbebas dari wajib upeti kepada Mataram, dan juga mendapatkan hadiah seekor Kuda besar yang gagah. Hal ini menyulut keingintahuan masyarakat cianjur pada sosok kuda pemberian Raja Mataram tersebut.

Dalem atau Bupati Cianjur membuat kebijakan untuk memamerkan kuda hadiah tersebut pada Masyarakat, setelah sebelumnya kuda tersebut di rias kemudian diarak mengitari jalan raya Cianjur.

Kesenian itu pun dikenal dengan Kuda Kosong lantaran saat diarak kuda tersebut tidak ditunggangi seperti halnya ketika kuda itu dibawa dari Mataram ke Cianjur.

"Jadi dari sejarah awalnya tidak ditunggangi itu karena Raden Arya Kidul dan Raden Arya Cikondang menghormati kakaknya, sehingga tidak berani menunggangi kuda itu dari Mataram ke Cianjur," ujar Luki.

Namun, lanjut dia, pada 1950-an, terjadi pergeseran makna, dimana kuda kosong diidentikkan dengan hal mistis. Dimana kuda tersebut dianggap tidak benar-benar kosong. Menurutnya dibuat cerita jika saat helaran atau arak-arakan kuda kosong, Eyang Suryakencana sosok leluhur Cianjur dari bangsa gaib menaiki kuda tersebut.


Sumber berita:
https://www.detik.com/jabar/budaya/d-7497189/legenda-eyang-suryakencana-penunggang-kuda-kosong-di-cianjur

Posting Komentar

0 Komentar